Memangnya Siapa Kita?

Saya sudah terlalu “gelisah” untuk menulis ini. Di kereta tadi, saya tidak sengaja menguping pembicaraan sekelompok ibu-ibu tentang LGBT.

Salah satu mereka berceletuk, “Saya punya temen. Dia meeting sama kliennya yang LGBT. Sakit jiwa ya orang LGBT itu. Mereka kalo udah suka sama satu orang bakal dikejar terus.”

Kemudian satu lainnya menanggap, “Lebih daripada orang gila. Orang gila aja enggak ngelakuin sodomi.”

Saya sontak melempar pandangan kepada ibu-ibu itu. Pakaiannya biasa, sepeti orang kantoran. Ibu-ibu yang lainnya pun sama. Saya pandangi dia dari atas sampai bawah. Saya heran, padahal sebelumnya saya mendengar dia bilang, “hidup itu jangan mikirin diri sendiri. Orang lain juga.” Itu dia katakan saat ada orang yang lebih tua harus duduk di kursi yang ia tempati.

Hidup itu jangan mikirin diri sendiri. Orang lain juga,” kalimat itu terdengar sedikit humanis. Tapi ada apa dengan kalimat yang dia lontarkan tentang LGBT itu?

Jujur, saya menolak legalisasi LGBT! Itu mutlak. Tak ada yang bisa mengkompromikan apa yang menjadi nilai saya selama ini.

Tapi saya juga akan marah ketika mendengar seseorang merendahkan sesamanya seperti itu.

Pertama, ada apa dengan (maaf) “orang gila”? Apakah mereka serendah itu?

Kalimat “lebih daripada orang gila” itu mengandung unsur hirarki, yang ketika orang berkata “daripada”, itu artinya ada yang “lebih dari” atau “kurang dari”. Sifatnya komparatif menurut saya. Dalam konteks ini, si Ibu mengatakan bahwa LGBT lebih parah dari orang gila. Ketika ia melontarkan kalimat itu, artinya ia sudah memandang rendah “orang yang sakit jiwa”. Itu yang saya pikirkan ketika mendengar pernyataannya.

Saya teringat kata Ayu Utami, hirarki memang sudah seharusnya tidak ada di dunia ini. Ketika orang berkata, “dia tercantik”, maka itu artinya ada orang yang tidak cantik dan bahkan “terjelek”. Tolak ukur seperti apa yang mereka terapkan untuk standar kecantikan sehingga ada orang lain yang merasa dirinya tidak cantik?

Kedua, memangnya siapa kita memandang orang lain serendah itu?

Saya yakin, agama manapun tidak akan pernah mengajarkan umatnya untuk memandang rendah sesamanya.

That's all.

Comments

Popular Posts