[TENTANG BUKU] Perempuan di Titik Nol: Menjadi Pelacur karena Kecewa


I finally work from home. Thinking that I went to office in only about 2 months, then Corona came to us, and bang!!! I have to work at home [again].  Feels like I really was destined as stay at home mom hahaha.

Tapi enggak apa-apa. Gue jadi ketemu sama rutinitas lama yang sedikit dirindukan.

Jadi beberapa waktu lalu, gue membaca bukunya Nawal El-Saadawi, seorang feminis dari Mesir. Buku ini bentuknya novel yang sangat ringan (dan gue berhasil baca dalam semalam aja), tapi gue yakin bakal bikin para kaum konservatif geram. Karena apa? Perempuan di Titik Nol mengangkat kisah seorang wanita yang memilih jalan menjadi pelacur sebagai sikap kritisnya terhadap sesuatu yang dia anggap tidak manusiawi, termasuk agama. Jeng jeng!!!

Kontroversi banget memang, tapi Nawal El-Saadawi nampaknya ingin sekali mengangkat sisi humanis dari seorang pelacur. Ya, bahkan seorang pelacur. Kalau selama ini kita selalu mendeskreditkan profesi pelacur, Nawal justru memanusiakan mereka lewat cerita di bukunya.

Nawal El-Saadawi, Meltingplot


Firdaus, yang dibuang oleh ayahnya setelah menikah dengan ibu tiri, kemudian dilecehkan secara seksual oleh pamannya yang diceritakan sebagai sarjana yang “salih”, ditipu oleh banyak laki-laki, dan berakhir dengan hukuman mati karena dia membunuh seorang germo walau sebetulnya itu bentuk pembelaan dirinya.

Walau berprofesi sebagai pelacur (enggak tahu nih, apakah penggunaan kata “walau” yang gue pakai bisa memunculkan bias karena terkesan mendiskreditkan), Firdaus mampu menunjukkan bahwa dia berhasil menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Ia juga mampu membuat dirinya “mahal” karena tak bisa dibayar dengan uang yang bahkan pejabat tawarkan. Ia hanya mau tidur dengan orang yang dia pilih sendiri.

Bahkan bagi Firdaus yang nampaknya feminis radikal (walau enggak tau dia sadar atau enggak dengan hal itu), pekerjaan paling murah adalah menjadi seorang istri karena mau tunduk secara gratis. Duh!

Jelas, Firdaus memilih jalan ini setelah kecewa dengan perlakuan para lelaki di kehidupannya. Walau mungkin aja sih, Firdaus apes karena dia kebetulan hidup di lingkungan yang sangat patriarkial. Tapi di sini, kita bisa ambil sikap bahwa konstruksi sosial macem itu (yes, gue bilang bahwa istri harus tunduk ama suami adalah konstruksi sosial) bahkan bisa berakibat fatal pada kehidupan seseorang.

Ummm, kalau kritik terhadap buku ini apa yaa. Mungkin karena buku ini novel yang artinya fiksi dan mengambil latar di suatu tempat, kita enggak bisa menggeneralisasi kejadian tersebut di lingkungan lingkungan sosial kita ya! Artinya, kita enggak bisa juga memutuskan menjadi pelacur di lingkungan sosial yang sebetulnya aman-aman aja atau masih bisa diperbaiki.

Bagi gue, buku ini memberi pesan bahwa perempuan sebetulnya punya kekuatan, punya pilihan, untuk tidak tunduk terhadap apa yang menekannya dan membahayakannya. Perempuan punya kekuatan untuk menentukan berapa harga untuk dirinya sendiri, setinggi-tingginya.

Segitu aja deh. Kuberi 3,8 deh untuk poinnya. Jujur ini subjektif karena gue enggak terlalu suka novel hahaha.





Comments

Popular Posts