Berbicara Kematian
Apa yang kita tahu soal kematian? Tak satupun orang tahu
tentang kematian. Para ahli sains bilang, kematian hanyalah soal bagaimana
organ manusia berhenti menjalankan fungsinya. Para ahli agama bilang, kematian
hanyalah soal arwah yang dicabut paksa oleh malaikat pencabut nyawa. Tapi tak
ada satupun dari mereka yang pernah betul-betul memberi gambaran pada kita,
bagaimana rasanya mati?
Hampir semua dari kita merasa sangat begitu takut mati. Tapi,
apakah kita betul-betul takut pada kematian itu sendiri? Orang terkasih kita, harta
yang kita simpan sejak lama, jabatan yang sekeras mungkin kita raih, semua yang
ada di dunia.. apakah semua dalam keadaan baik setelah kita mati? Bagaimana
kita dikenang sebagai manusia setelah mati?
Hal lainnya adalah, kita begitu takut akan kehidupan setelah
kematian. Sebagai muslim, aku terlalu lama mendengar bahwa kita bisa terancam
oleh siksa kubur. Atau mungkin kita juga terlena dengan adanya nikmat kubur.
Yang manakah yang akan kita tuai nanti?
Nampaknya aku jadi tahu. Kita tak pernah betul-betul takut
akan kematian itu sendiri. Kita hanya cemas soal bagaimana kehidupan sebelum
dan sesudah kita mati. Kita cemas akan sebuah ketidak-pastian.
Dari kecemasan ini, kita bisa melihat bagaimana manusia bisa
menjalani hidupnya. Ia bisa jadi baik karena takut dikenang sebagai manusia
yang buruk. Ia bisa jadi ahli ibadah karena takut akan siksa kubur. Ah, sungguh
manusia memang selalu dibentuk oleh kecemasan. Mereka menjalankan hidupnya yang
begitu karena memang selalu cemas.
Lantas, kapan manusia betul-betul menjadi baik?
Mungkin ketika mereka rela dan berhenti “berusaha menjadi baik”.
Salah seorang bilang, ketidak-relaan adalah bentuk
ketidak-siapan kita pada satu hal terburuk. Manusia memang sering melakukan
penyangkalan, ya? Atau justru melarikan diri dan memproyeksikan kecemasannya
pada satu hal yang sering dipandang baik? Kita seringkali melakukan
penyangkalan atau mencari atau membangun sesuatu agar bisa melarikan diri dari
kecemasan. Kecemasan yang tak bisa ditanggung siapa-siapa.
Jika sudah demikian, manusia membangun ilusinya sendiri.
Sudah saatnya kita bisa merangkul rasa hilang, menerima bahwa
kita juga bisa menghilang.
Bukan sebagai bentuk keputus-asaan, sebab itu memang salah
satu yang sudah jadi bagian kehidupan.
Comments
Post a Comment