ISLAMISASI
Saya pernah belajar tentang ekonomi Islam selama empat tahun waktu mengambil gelar sarjana. Saya paham bahwa sistem yang dibawa ekonomi Islam bertujuan menyelamatkan umat di dunia, khususnya umat Islam. Tapi bagaimana praktiknya?
Saya pernah magang di salah satu bank syariah. Sedikit banyak
saya tahu sistem yang dibangun, dan membuat saya berpikir apa yang berbeda
dengan sistem konvensional yang ada karena yaa memang mirip? Tapi tidak masalah sih, jika dilakukan dengan cara baik. Toh Islam memang mengatur cara kita
bermuamalah agar terus menjalin relasi dengan cara baik. Tapi beberapa
yang lain justru mengesampingkan prinsip Islam dan tetap mencekik para
nasabahnya.
Baiklah, saya tak mau banyak bicara karena takut sekali akan
berujung pada fitnah dan tudingan tak berdasar. Ini semata-mata saya ambil dari
pengalaman pribadi. Saya yakin, masih banyak orang yang berjuang membawa
nilai baik dari agama kepada sistem yang ada di kehidupan kita. Saya tidak ingin
memandang semua orang yang bergerak di dalam sana bejat. Sama halnya dengan
saya memandang koruptor hanyalah iblis yang menyelinap di antara banyaknya
politisi baik.
Saya kemudian berpikir, apakah efektif bila agama
disandingkan dan diolah dengan banyak hal pada kehidupan manusia? Bila agama
terus dibawa, terombang-ambing terus seperti ini, apa yang akan manusia
sisakan?
Beruntungnya saya, mendapat rekomendasi buku dari salah
seorang sarjana muslim yang saya hormati, Ulil Abhsar. Buku tersebut berjudul “Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan” atau “Humanity
before Religiosity”. Dalam buku itu, ada bab yang saya nikmati dalam-dalam,
yakni ketika sang penulis, Habib Ali al-Jufri, menanggapi kritik dari salah
satu pembacanya. Kritik terhadap sebuah surat yang ditulis Habib Ali untuk para
politisi Islam yang sedang berjuang merebut kekuasaan.
Singkatnya, Habib Ali mengungkapkan bahwa Islam tidak pernah
memerintahkan kita untuk saling merebut kekuasaan. Dalam surat tersebut, ia nampak
sinis dengan para politisi Islam sebab merasa bahwa mereka hanya membawa Islam
untuk menuju puncak kejayaan. Agama sering dijadikan tunggangan. Tidak lebih
dari itu.
Kemudian, salah seorang pembaca suratnya membalas dengan
sebuah kritik. Habib Ali merasa bahwa kritik itu patut dihargai. Sebab, ia melihat
banyak orang yang menentang sebuah narasi dengan cara menyerang personal, bukan
fokus pada narasi yang ditentang. Sebuah sikap dari keduanya yang patut
diacungi jempol dan sebuah pembelajaran bagi saya.
Dalam kritik tersebut, orang itu berkata bahwa Allah pastilah senang bila hambanya memperjuangkan sesuatu demi diri-Nya. Ia juga berkata bahwa sebetulnya apakah lebih tidak pantas bagi kita bila kepemimpinan jatuh pada seseorang yang tidak seiman, sekuler, komunis, ateis dan lain hal ia sebutkan. Ia beropini, bila begitu, Islam akan ditindas dan dienyahkan.
Saya sendiri punya pandangan bahwa Allah akan tetap selalu Agung, walau hamba-Nya terus berbuat kesalahan. Kita juga terlalu angkuh bila terus membuat klaim bahwa kita adalah yang paling benar.
Namun, Habil Ali justru punya tanggapan di luar pandangan
saya yang sangat saya apresiasi. Begini kiranya:
Ia beranggapan bahwa “Islamisasi” politik dan “Islamisasi” lainnya
(seperti ekonomi, manajemen, kesenian dan lain-lain) tidak jauh berbeda dengan
prinsip kaum modern sekuler (yaa itu bila kita bertentangan dengan kaum modern
sekuler). Baginya, semua perilaku ini hanyalah dihiasi oleh ayat-ayat al-Quran
dan Hadis Nabi, serta hanya menghasilkan talfiq
(menggabungkan beberapa mahzab hingga melahirkan mahzab baru sehingga tidak
bisa diterima oleh mujtahid manapun). Setelah ditelaah lebih dekat, model ini
justru menunjukkan hubungan yang lemah kepada etika dan prinsip Islami. Ruh dan
nilai Islam lenyap di dalamnya.
Ia juga mengambil kesimpulan pribadi bahwa metode “Islamisasi”
hanyalah muncul dari iman yang dikendalikan rasa frustasi dan ambisi. (Ini
mengingatkan saya pada munculnya banyak produk syariah yang kurang masuk di
akal saat mulai kehilangan konsumen hehe)
Namun, Habib Ali mengungkapkan, ia tidak menilai bahwa
semua umat Islam tidak layak memimpin. Sebab ini adalah sebuah pilihan. Yang
menarik, ia menata pilihan itu menjadi dua:
1.
Mereka yang menarik diri sama sekali dari urusan
publik demi mempertahankan keimanan. Walau ada risiko besar mereka juga gagal
berkontribusi pada kemajuan masyarakat dan negara.
2.
Dan, mereka yang yang akhirnya bekerja sama
dengan sistem yang ada dan akhirnya berkompromi. Inilah yang Habib Ali katakan dengan metode “Islamisasi”, yang menurutnya justru menghilangkan ruh Islam.
Pandangan pribadi
Saya yakin hidup adalah sebuah pilihan yang tiap pilihannya
mengandung risiko atau kelemahan. Saya sendiri mungkin akan kebingungan bila dihadapi
dengan dua pilihan yang Habib Ali telah tawarkan. Tapi begini..
Saya yakin, agama hadir dengan tujuan baik, menawarkan
solusi terdekat bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupannya. Saya rasa, semua niat
baik, darimanapun asalnya, akan selalu sejalan dengan Islam bila tidak ada yang bertentangan dengan
prinsipnya. Saya juga yakin, kebaikan selalu menjadi kemauan Tuhan. Bukankah kita
yakin Ia berfirman untuk kebaikan kita? Bukankah sabda para Nabi ada untuk
menjadi pedoman hidup yang baik bagi kita?
Beragama bukan semata-mata menjalankan ritual. Kita mestinya memaknai apa yang diatur untuk kita. Saya juga berpikir, kita butuh memahami aturan ini dengan memposisikannya dalam sebuah konteks. Semua diatur bukan semata-mata karena kita akan masuk neraka atau surga.
Seperti yang dikatakan Habib Ali dalam narasi selanjutnya. Dakwah memang mesti begitu setia pada prinsip agama, tapi ia juga harus relevan dengan kondisi kehidupan yang sekarang. Manusia sekarang butuh pencerahan hati sehingga mereka bisa berkontribusi bagi kemajuan umat beragama dengan penuh keyakinan, bukan dengan kampanye penuh kebencian yang memecah belah atai misi terselubung dengan akhir yang mengecewakan.
Amat sangat disayangkan kita mengabaikan dan menolak tujuan
baik bila alasannya adalah keyakinan. Bila kita terus menolak, saya rasa agama
seiring dengan waktunya akan menjadi usang. Agama akan diyakini sebagai ilusi
semata yang dibangun manusia untuk kepentingannya.
Comments
Post a Comment