Mengilhami Esensi Hari Kartini

Instagram Adindanrizki


“Kau pertentangkan 'harus' itu dengan 'aku mau'...” 

Aku mau. Dua kata yang selalu jadi semboyan pendekar itu. Kutipan di atas ada pada surat Kartini teruntuk sahabatnya yang berasal dari Belanda, Stella. Kala itu, Kartini sedang menceritakan kedalaman cintanya terhadap sang Ayah.

Perempuan Indonesia harus tau nama Kartini. Pasalnya, ia adalah tokoh emansipasi wanita pertama asal Indonesia yang lahir di Jepara pada tanggal 21 April. Pada tahun 1964, tanggal 21 April pun ditetapkan sebagai Hari Kartini sesuai Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 108 tahun 1964.

Namun tiap tahunnya pula Hari Kartini penuh pro dan kontra. Bagi sebagian orang, memperingati Hari Kartini dengan berkebaya atau berbaju adat lainnya adalah simbol dari nasionalisme dan penghargaan. Di samping itu, para feminis menolak dengan alasan bahwa tradisi ini hanyalah sebatas seremonial. Esensinya mulai dilupakan oleh tradisi yang sifatnya semi-pesta rakyat.

Hari ini saja, tidur saya diganggu oleh keponakan perempuan yang minta didandani untuk acara Kartini di sekolahnya. Sebelum kerja, saya sempatkan diri (dengan sedikit memaksa karena saya akhirnya datang kesiangan). Sambil mendandani, saya bertanya, “Emang Kartini itu siapa, Shen?”. Bocah kelas dua SD itu cuma “cengengesan” sambil mengangkat pundaknya. Ia tidak tahu.

Murid diharuskan mengikuti berbagai lomba di sekolah. Akhirnya, yang mereka tahu hanya bahwa pada Hari Kartini semua berlomba. Sejarah, ketokohan, pemikiran dan perjuangan Kartini tak pernah ditanamkan. Murid pun buta akan esensi atau makna dari Hari Kartini.

Semua harusnya diukur dari sejauh mana masyarakat mengenal Kartini dan pemikirannya. Seperti pada epilog Ruth Indiah Rahayu dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer, kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 21 April ini hanya menafsirkan Kartini dari identitas kulturalnya. Apakah dengan cara itu kita bisa melakukan penghormatan atas keyakinan Kartini? Apakah semuanya selesai sampai di situ?

Sejatinya, Kartini hidup dengan banyak perjuangan untuk kaum perempuan. Terlebih saat itu ia hidup di masa kolonialisme dan feodalisme. Perempuan tak bisa mendapat haknya secara penuh. Sekolah pun sulit jika bukan keturunan pejabat. Melakukan apapun mesti sesuai “keharusan” bukan “kemauannya”. Kartini, perempuan yang menentang poligami, bahkan akhirnya menjadi istri ke empat seorang raja.

Kesetaraan Gender 

Kata gender tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jika mengacu pada therasaurus, gender berarti kelamin. Namun jika ditelaah, hakikat gender dan kelamin sudah semestinya berbeda.

Kelamin merujuk pada alat kelamin yang terberi secara biologis dari lahir. Sementara itu, gender adalah konstruksi sosial-budaya yang dilekatkan pada perbedaan kelamin. Demikian yang dikutip Majalah TEMPO edisi terbaru pada rubrik “Bahasa”.

Jika gender disamakan dengan kelamin maka yang muncul adalah sifat kodratiah. Sifat kodratiah ini cenderung memenjarkan perempuan di ranah domestik. Misalnya saja hanya sebatas pemahaman bahwa perempuan memiliki kodrat melahirkan dan membesarkan anak di rumah. Perempuan yang didomestikasi karena kodratnya merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat patriarki.

Banyak gerakan yang diciptakan oleh para feminis untuk memerangi stigma tersebut. Namun demikian, data menunjukkan bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya tercapai. Misalnya saja angka pengangguran yang didominasi perempuan, tingkat pendidikan perempuan yang rendah, dan kekerasan yang semakin meningkat (data oleh TEMPO).

Bahkan di era Internet seperti saat ini, perempuan seringkali menjadi komoditi banyak pihak. Perempuan kehilangan alat produksinya seperti ani-ani dan canting. Mereka tergiring untuk bekerja di sektor manufaktur atau industri. Hingga akhirnya seks, seksual, dan seksualitas mereka menjadi “pemanis” agar konsumen mau membeli barang produksinya.

Oleh karena itu, aspirasi dari kaum feminis yang dinilai radikal (oleh Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dan dosen filsafat UI) dianggap perlu untuk memperoleh keadilan yang substansif.

Berhubung saya bukan seorang feminis, untuk penjelasan lebih lanjut akan segera menyusul. Atau mungkin sahabat saya, Fini, bisa mengajak Anda berkenalan dengan feminisme di sini.

Comments

Popular Posts