Jalan kita selalu memutar. Jauh. Tapi dunia tak pernah benar-benar berpendar di sekitar kita. Bahwa mimpi yang tak sejalan, akhirnya membuat kita berpencar. 

Bahwa pada akhirnya, yang punya jalan sama hanya kita dan pikiran kita sendiri. Siapa yang ingin sama dengan kita, jika masing-masing punya paham sendiri?

Orang lain bilang, ini transisi. Perubahan. Perpindahan. Transisi memang tak pernah mudah. Bahkan manusia yang dulunya penuh kekangan dogma dan merasa sudah cukup, kemudian mengklaim dirinya berevolusi karena banyak membangun kesadaran, akhirnya rusak sendiri saat proses bertransisi.

Bukan perubahan, bukan perpindahan. Kita sepertinya membutuhkan keseimbangan. Bukankah semesta selalu membutuhkan keselarasan?

Mimpi kita nampaknya tak pernah sama, tak pernah mau sama. Tapi, bukan berarti kita harus saling menuntut mengorbankan. Bukankah semua yang kita jalani dengan apa itu sesuatu yang dengan sialnya disebut komitmen, harusnya dijalani dengan kolaborasi?

Kita bisa saling mengecam, mengapa ini tak pernah adil? Lantas salah satu dari kita merasa sudah berkorban. Bukan. Bukan itu seharusnya. Karena apapun yang kita lakukan dengan modus cinta, tak mengenal apa itu berkoban dan dikorbankan.

Apa sebetulnya yang kita mau? Semua harus serba ideal? Ideal menurut siapa? Kita mengklaim diri kita netral. Bukankah menuruti idealisme sendiri juga adalah bentuk ketidaknetralan?

Lalu kemudian, kita merasa kosong. Saling menengadah meminta bantuan. Pelarian. Bisakah kita menanyakan sekali lagi kepada diri sendiri, apa benar kita masih saling mengasihi?

Memang. Kadang, kita membutuhkan jarak, untuk benar-benar tahu apakah kita masih saling kasih mengasihi? Bukan membutuhkan. Karena ini bukan kebutuhan.

Sampai kapan kita mau begini?
Mau goyah begini?
Mau rentan begini?
Mau tersesat begini?
Mau berpencar begini?

Aku tak masalah jika kita saling tersesat. Tapi mari kita membuat titik, agar suatu saat bisa saling bertemu di sana.

Penghujung tahun di Jakarta Selatan.

Comments

Popular Posts