[TENTANG BUKU] Filosofi Teras

Kata siapa belajar filsafat itu bikin pusing? Kata siapa belajar filsafat itu bikin sombong orang? Kata siapa belajar filsafat artinya menjauhkan diri kita dari nilai-nilai agama?
Gue pernah nonton film drama romantis yang judulnya About Time. Ada yang udah nonton? Kalau yang enggak suka drama, film ini bikin ngantuk katanya.
Jadi ceritanya ada tokoh bernama Tim. Dia dianugerahi bakat time travelling. Dengan bakat ini, dia menjelajah waktu dengan berbagai keperluan. Termasuk tidur berkali-kali sama gebetannya hahaha.
Tapi ada satu scene yang bikin gue haru biru, selain soal bokapnya si Tim meninggal. Yaitu saat bokapnya bilang bahwa bakat ini sebetulnya bisa bikin Tim bahagia yang lebih dari sekedar mendapat istri dan mengubah takdir lainnya, yakni menjalani hari dua kali, dengan cara yang sama, tapi dengan pandangan berbeda.
Di situ si Tim akhirnya menjalani hari kayak biasanya. Tim, yang juga pengacara, seringkali melewati harinya dengan perasaan jengah, lelah dan bosan. Tapi di malam dia akan tidur, dia inget kata bokapnya. Dia memutuskan kembali ke hari yang sama di pagi hari. Melewati hari dengan cara pandang yang berbeda. Bahkan ketika dia mengalami satu hal yang bikin dia kesel, dia memandangnya dengan cara yang lebih.. umm lebih apa ya. Lebih membahagiakan kali ya.
Gue suka banget scene ini. Tapi gue enggak ngerti kenapa. Ada enggak sih, yang sering begitu? Sering merasa seneng sama sesuatu tapi enggak tahu kenapa.
Tapi akhirnya gue punya jawabannya. Setelah membaca buku soal filsafat bernama Stoisisme.


Tentang Filosofi Stoisisme atau Filosofi Teras
Filosofi Teras menceritakan ajaran-ajaran atau nilai dari sebuah mahzab filsafat bernama Stoisisme. Sang penulis, Henry Manamping, menjabarkan banyak poin soal apa aja yang diajarkan filosofi ini. Inti yang dari gue tangkap, Stoisisme menekankan cara manusia menghadapi kehidupannya, tanpa denial, tanpa menolak, tanpa ribet, tapi secara internal. Tidak terfokus pada apa itu kebahagiaan eksternal.
Menurut filosofi yang dibawa oleh pedagang bernama Zeno ini, manusia adalah produk alam. Kita punya perbedaan dari makhluk lainnya, yakni akal dan pikiran. Menurut Stoisime, manusia yang baik harus mengembalikan diri sebagai produk alam ini, yang artinya kita harus menghadapi segala sesuatu dengan akal dan pikiran. Selaras dengan alam, begitu katanya.
Menurut filosofi ini juga, emosi negative atau baik itu sebetulnya kreasi dari rasio kita. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini netrak, tak ada label baik atau buruk. Yang melabeli itu semua adalah rasio kita. Ketika kita melakukan pelabelan buruk terhadap sesuatu, maka yang muncul biasanya adalah emosi negative.
Sebetulnya banyak banget poin yang bisa dijabarkan (kayaknya lo bisa baca sendiri aja). Inti dasar dari itu semua sih ya itu. Segala label baik buruk dari manusia adalah produk rasio kita. Jadi kalau kita memandang satu hal itu sebagai hal buruk, maka ya akan jadi buruk.
Untuk tau lebih lanjut bisa dibaca langsung aja hehe.
Review
Yang jelas, buku ini ringan banget untuk dibaca. Ada selipan humor dan tata bahasa yang gaul banget. Mudah banget dicerna untuk otak gue yang Cuma secuil ini. Tapi, materi yang disampaikan ini sebenernya dalem banget. Ya gimana enggak, isinya filosofi Stoisisme, ajaran kuno yang muncul kurang lebih 2000 tahun lalu.
Henry mampu mengubah mindset seseorang yang skeptic terhadap filsafat. Bahwa sebetulnya filsafat itu enggak serumit itu. Dan bahwa ada nilai-nilai baik yang bisa kita ambil dari filosofi yang sangat praktis dan enggak Cuma teori aja. Dan bahwa sebetulnya kita bisa kok, belajar filsafat dan serta agama karena nilai-nilai yang dibawanya sama, yakni mengajarkan kebaikan.
Henry juga mampu menambahkan penerapan Stoisisme dalam ranah parenting yang sebetulnya enggak secara gamblang dijabarkan oleh buku-buku Stoisisme klasik dari Marcus Aurelius, Seneca, Epictetus dan kawan-kawan. Dan ternyata? Relevan banget.
Terus terpikir pula lah oleh gue bahwa sebetulnya Stoisisme ini bentuk pembelaan juga enggak sih terhadap kaum feminisme. Karena selama ini kan, banyak sekali stigma dikotomi emosi dan rasio. Perempuan itu jauh lebih emosional dan enggak logis. Bahwa sebetulnya emosi itu ternyata produk dari rasio juga loh! Apaan sih elo mah Din ah hahaha.
Sebetulnya buku ini penyelamat banget buat kita yang mau tahu soal Stoisisme tapi enggak punya referensi bahasa Indonesianya. Udah banyak banget buku popular modern yang mengangkat Stoisisme kayak Daily Stoic-nya Ryan Holiday atau How to be a Stoic karyanya Massimo Pigliucci. Sayang banget buku mereka belum diterjemahin ke dalam bahasa Indonesianya. Bahkan buku fisiknya pun kayaknya belum masuk ke Indonesia karena gue cari pun belum ada. Beli impor ampun banget dong mahalnya!
Menurut gue pula, Henry bertutur kata dengan rendah hati. Ini terbukti dari epilog dia yang menjelaskan bahwa sebetulnya dia bukan sepenuhnya seorang Stoic dan masih terus belajar (padahal doi udah menjalaninya selama setahun). Sepertinya dia meyakini perkataan Epictetus bahwa seorang yang tengah memperlajari Stoisisme tak perlu mengaku sebagai Stoic dan lebih baik menjalaninya dengan rendah hati. Padahal ada beberapa yang sedang mempelajarinya dan langsung mengklaim dirinya sebagai seorang Stoic.
Jadi untuk buku ini kuberi nilai emmm, 4.3/5.0 deh!

Comments

Popular Posts