Drakor The World of Married Couple: Gambar Terang soal Posisi Perempuan yang Selalu Jadi Ironi
Sebetulnya, ini bukan pukulan pertama yang diberikan oleh
banyak reviewer drakor The World of
Married Couple untuk para kaum patriarki.
Gue udah banyak baca berbagai tulisan dan ulasan soal drakor
The World of Married Couple. Awal gue
mau nonton pun adalah karena drakor ini diulas oleh salah satu akun feminisme
di Indonesia. Penasaran, tapi belum tau kalau ternyata drakor ini lagi hits
banget.
Rasanya, Korea Selatan emang udah mulai bergerak dalam
menyuarakan lewat industri hiburannya. Sebutlah Parasite yang katanya mengangkat isu humanisme dan jadi pukulan
telak bagi para kapitalis. Kemudian ada Kim
Ji-young: 1982 yang jadi suaranya para ibu-ibu feminis. Itaewon Class yang punya segudang
konflik bertemakan rasialisme, humanis, kapitalis, dan masih banyak lainnya.
Industri hiburan Korea Selatan memang sedang meroket. Ini
artinya, mereka punya kendaraan yang tepat untuk bersuara.
Tribunnews. |
Gambaran posisi
perempuan di Drakor The World
of Married Couple
Enggak usah bahas sinopsisnya lah ya, karena udah banyak
orang yang tau. Perselingkuhan, rumah tangga, janda dan lain-lain. Plotnya ala
sinetron banget, ada aja konfliknya enggak selesai-selesai. Tapi yang akan gue
sorot di sini adalah drakor The World of
Married Couple memuat banyak pesan untuk para kaum patriarki.
Salah satu yang akan gue angkat adalah: betapa posisi
perempuan memang selalu rentan terhadap kekerasan berlapis. Ji Sun Woo, tokoh
utamanya, menggambarkan bahwa menjadi seorang perempuan yang mandiri dari
segala aspek memang merupakan perjuangan yang luar biasa. Tapi apa suaminya
bangga dengan keadaan Ji Sun Woo yang demikian? Nampaknya tidak. Dengan alasan self esteem dan pride, suaminya malah berselingkuh.
Setelah menjanda pun, Sun Woo malah ditikam banyak masalah.
Ia banyak digosipkan. Katanya janda itu mesti hati-hati bertemu dengan
laki-laki. Yang lebih mengecewakannya lagi, tudingan ini ditujukan oleh sesama
teman wanitanya. Ia juga diserang pimpinannya di rumah sakit. Katanya, perempuan
terlalu emosional untuk memimpin (Sun Woo adalah direktur muda di rumah sakit
tersebut). Perempuan selalu membawa masalah personal ke ranah pekerjaan.
Kemudian, ia juga ditempa dilema yang luar biasa soal anak.
Menjadi single mom yang harus bekerja
dan mendidik anak memang tidak mudah. Tapi ia dituntut pula untuk menjadi ibu
yang sempurna. Padahal, menjadi orangtua utuh pun sulit rasanya, apalagi
menjadi orangtua tunggal. Menuntut seorang ibu untuk menjadi sempurna adalah
hal yang terlalu mustahil.
Di sini, gue agak menyangkal banyak ulasan yang membenarkan
tindakan Sun Woo untuk menjadi perfeksionis. Sekali lagi, menjadi “perempuan sempurna”
di segala aspek itu mungkin terlihat seksi. Tapi kita musti waspada, sesuatu
yang diidealkan oleh banyak orang ini ternyata bisa juga merupakan konsturksi
sosial, “buatan” para kaum patriarki. Perempuan dituntut lihai dalam pekerjaan domestik,
bekerja banting tulang, mengikuti standar cantik society dan lain-lain. Tapi di
sisi lain, mereka juga akan dicemooh jika terlalu fokus bekerja hingga
mengabaikan keluarga, dinilai egois ketika terlalu fokus pada pendidikan,
dibilang tidak mandiri jika terlalu fokus mengurus rumah dan anak. Gue pernah
mengikuti short course soal Women and Leadership. Di situ, lecturer bilang, “life balance is a myth”, bahkan untuk pria sekalipun. Mustahil seorang
manusia superior dalam segala-galanya.
Yang dibenarkan adalah, ketika perempuan menjadi mandiri,
mahir mengurus rumah dan segala sesuatunya, ATAS KEHENDAKNYA SENDIRI. Bukan karena
tuntutan dan paksaan. Mereka menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Balik lagi ke drakor ini. Di samping Sun Woo, Da Kyung pun
serupa. Ia mengalami banyak kekerasan psikis. Walau dalam posisi yang… entah
salah atau enggak ya, ia juga menjadi korban suaminya si Tae Oh. Menjadi korban
godaan Tae Oh adalah bukti bahwa perempuan memang gampang dilemahkan.
Ada lagi tokoh Seol Myung Seok, teman Sun Woo
di rumah sakit. Ia sempat ditentang menjadi direktur muda hanya karena masih
lajang. Apa salahnya menjadi lajang? Harusnya sih enggak ya.
Kehidupan berumah tangga memang sedemikian sulit dan
rumitnya. Drakor The World of Married
Couple memberi pesan pada kita bahwa masyarakat patriarki sebegitu kejamnya
terhadap perempuan sekelas Sun Woo yang tampak superior sekalipun.
Drakor The World of
Married Couple menyuguhkan gambaran terang soal posisi perempuan yang selalu
jadi ironi.
Comments
Post a Comment