Membaca Status Milik Sepupuku, Fitri Irfani
Semalam gue baca status dari sepupu gue, Fitri, soal
kehidupan rumah tangga. Begini rekapannya...
“Pernah denger dari
ustadz, setan mebisikkan ke dalam dada manusia bahwa sebelum nikah itu lebih
enak daripada sesudah menikah. Padahal di dalam pernikahan, Allah melimpakan
segala macam berkah, hingga hal kecil saja jika mengharapkan balasan Allah itu
pahalanya sangat besar.
Tapi, memang dasar
setan, muslihatnya enggak akan berhenti sampai berhasil menjerumuskan manusia.
Hal kecil yang harusnya mendapat pahala dari Allah malah jadi perang besar
bahkan sampai perang piring.
Ustaz juga bilang
supaya kita mencontoh Nabi. Antara suami istri itu mengerjakan kewajiban tanpa
mempertanyakan hak. Jika kita menjalankannya dengan ikhlas, yakni hanya
mengharapkan balasan dari Allah saja, maka balasannya adalah Surga.
Intinya, memang
setelah menikah dan berganti peran itu ternyata enggak mudah dijalani. Banyak
tantangan yang harus dijalankan dan diatasi di setiap levelnya sama kayak main
game.
Sedangkan peran suami
dan istri itu beda-beda tingkat kesulitannya, jadi harus cermat dalam mengambil
sudut pandang agar tepat dalam bersikap. Supaya suami tidak melukai istri dan
istri juga enggak bikin suami kecewa."
Pertama-tama, gue meminta agar teman-teman membuka luas pikiran
dan hatinya untuk membaca tulisan gue yang satu ini. Sebab, si Dinda emang gitu
orangnya. Batu dan sok tau. Tapi percayalah, diriku hanya mencoba
berargumentasi di sini.
Okay, menanggapi perkataan si Ustaz… (Please, pit. Semoga ini
bener perkataan ustaz, bukan elu yang salah karena lupa. Nama ustaznya aja elu
lupa -_-)
Gue pernah membaca salah satu artikel yang bagus banget
menurut gue, judulnya “Masihkah kita memikirkan halal dan haram?”. Ini tulisan
salah periset muda lulusan sarjana psikologi. Dalam tulisannya dia menulis
begini kira-kira..
Ada tiga tingkat cara kita nalar seorang manusia dalam
beragama, pertama nalar bayani, nalar burhani dan nalar irfani. Ketiganya
memiliki sumber dan pendekatan yang berbeda.
Nalar bayani fokus pada halal dan haram, boleh dan tidak
boleh, putih dan hitam. Ulama fikih banyak yang sering memakai nalar ini, mereka
merumuskan hukum dari Al-quran dan Hadist. Nalar ini juga sering digunakan
orang awam. Sifatnya dogmatis, defensive dan apologetic.
Apa nalar ini salah? Tentu tidak. Justru berkat nalar ini,
ilmu fikih berkembang hingga sekarang.
Nalar kedua adalah nalar burhani, yakni nalar yang
menggunakan rasio. Wah, ini nih. Banyak yang ngomong, jangan terlalu
menuhankan logika. Tapi ternyata, justru nalar ini masuk dalam tingkatan kedua. Jika kita bisa melihat para ilmuwan Islam kayak Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan bahkan ada
seorang bernama Imam Amudy yang pasalnya dipuji Allah karena beriman pada Allah lewat
logika matematika, betapa mereka luar biasa mengagumi kekuasaan Tuhan lewat penggunaan nalarnya.
Ada lagi yang menarik, Nabi pernah bersabda sebanyak tujuh
kali, memuji mereka yang beriman tanpa pernah melihatnya. Bagaimana menemukan
keimanan seperti ini? Tentu saja dengan logika alias rasio.
Yang terakhir adalah nalar Irfani, yakni kebijaksanaan.
Bahwa kebenaran adalah milik Allah dan kita bertugas untuk jadi rahmat bagi
semesta alam. Nalar ini memperlihatkan pada kita tentang esensi dan substansi.
Betul, kita beriman pada Allah dengan segala regiliusitas, tapi juga harus
menggunakan rasa empati pada sesama makhluk-Nya.
Karena gue sama yakinnya, bahwa Allah adalah Tuhan Pemaaf
Yang Luar Biasa Hebat. Semua firman-Nya adalah rahmat untuk semua makhluk-Nya.
Yang artinya, jika kita menjalankan nilai agama ini, kita juga berjuang
untuk semua, bukan hanya diri kita sendiri.
Nah, jika melihat isi ceramah ustaz yang si Fitri bilang, gue
yakin tujuan dan maknanya adalah baik, yakni mempererat kasih sayang dalam
keluarga. Tapi pendekatan yang ia sampaikan gue rasa kurang tepat.
Betul bahwa tidak benar jika kita punya pandangan: pernikahan tidak pernah lebih enak dari kehidupan sebelum menikah. Pernikahan itu
artinya sebuah keputusan, yang menurut gue ini adalah keputusan terbesar dalam
hidup (at least dalam usia gue yang 28 tahun ini). Jika kita sudah memutuskan,
artinya kita sudah menimbang konsekuensi dan risiko, bukan hanya pada apa yang orang
bilang indah aja soal pernikahan.
Tapi pernikahan juga soal kolaborasi. Ketika satu pasangan
memutuskan untuk menikah, artinya mereka juga memutuskan untuk mau berkolaborasi. Uraian bahwa,
antara suami istri itu mengerjakan
kewajiban tanpa mempertanyakan hak. Jika kita menjalankannya dengan ikhlas,
yakni hanya mengharapkan balasan dari Allah saja, maka balasannya adalah Surga,
gue rasa juga kurang tepat.
Kenapa? Sekali lagi, pernikahan itu kolaborasi. Bahkan gue pernah baca dalam artikel di Psychology
Today bahwa kerja sama adalah frasa
yang kurang tepat. Karena dalam kerja sama, artinya orang melakukan sesuatu
dalam porsi dan waktu yang bersamaan. Jika kita menggunakan kata kolaborasi,
artinya bukan soal kuantitas dan kualitas (siapa yang paling banyak dan siapa yang paling berkualitas). Pokoknya, suami dengan istri dan
bahkan anaklah yang menjalankan rumah tangga itu.
Yang kedua adalah menjalankan kewajiban tanpa mempertanyakan
hak. Sebetulnya dalam kolaborasi yang gue maksud di atas, semua elemen keluarga
sudah seharusnya berjalan beriringan tanpa tahu apa itu kewajiban dan haknya. Mereka
menjalankannya, ya karena itu baik dilakukan untuk keluarga mereka. Jika masih
melihat kewajiban, maka yang tersirat hanyalah hak. Jika melihat hak, yang
tersirat hanyalah kewajiban. Gue sudah
menjalankan kewajiban, mana nih hak gue? Lo kan udah dapat hak lo, kewajiban lo
mana? Terus begitu, enggak pernah selesai. Sampai ternyata kita sadar,
bahwa berkeluarga bukan soal matematika.
Dan kalau berbicara soal pahala dan surga, rasanya omongan
pak ustaz ini agak kontradiktif juga ya. Bukankah menjalankan sesuatu dengan mengharap
pahala dan surga juga merupakan sebuah tuntutan hak? Ya Allah, saya ini sudah menjalankan apa yang Engkau minta, beri saya
pahala dan surga yang Engkau janjikan ya. Kayaknya enggak gitu ya.
Allah berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 21, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir.”
Sudah sangat jelas bahwa dalam ayat tersebut, Tuhan memberi kita kesempatan untuk membina rumah tangga dalam cinta. Dan, kebesaran-Nya akan terasa jika kita adalah termasuk kaum yang berpikir.
Gue juga pernah baca kalimat ini, jika modusnya adalah cinta, maka tidak mengenal apa itu pengorbanan dan
dikorbankan. Nah, kenapa kita tidak memakai kalimat ini sebagai dasarnya? Soal surga dan neraka biarlah Tuhan yang urus. Karena jika kita sudah beriman atas kasih sayang-Nya, mengapa kita tidak yakin saja bahwa Ia akan mengurus segala sesuatu yang bakal koheren dengan sendirinya?
Jika kita sudah merasa berkorban dan dikorbankan, ya
kemungkinannya ada satu: kita sudah tidak cinta lagi dengan keluarga kita. Tapi
tenang, cinta itu sebuah kata kerja. Artinya, kita bisa terus dan melakukannya
lagi.
Comments
Post a Comment