Menjadi Idealis?

Kemarin, ketika dalam perjalanan menuju Warung Buncit untuk memenuhi panggilan interview sebagai wartawan, saya merasa akan menuliskan banyak hal di tulisan saya yg satu ini.

Pertama, haru biru menghampiri saya ketika akhirnya saya harus naik kereta dan metromini lagi. Saya menemukan banyak waktu untuk kembali baca buku, bertemu banyak orang, dan harus menahan sabar berjejal-jejal di dalam kereta.

Suara pengamen dgn gitar dan harmonikanya jg salah satu jadi bagian favorit saya.

Abaikan tentang perjalanan. Sekarang bagian dari proses seleksi.

Alhamdulillah, sangat lancar. Tapi yg saya sesalkan adalah: ketika sesi wawancara saya ditanyakan, "media tempat kamu berkerja sekarang, afiliasi politiknya kemana?"

Mood saya langsung drop seketika. Saya tahu, media mana sekarang yg netral? Saya teringat tokoh Dimas di salah satu buku fiksi berlatar sejarah Orde Lama, "Pulang" karya Leila Chudori (saya akan cerita sedikit tentang keunggulan buku ini nanti). Dalam ceritanya, Dimas ini tokoh yg dilema karena di satu sisi, ia menyebut dirinya "zona netral Swiss" tp di sisi lain ia harus berkerja sebagai jurnalis di salah satu media yg berpihak pada PKI. Salah satu redaktur, yg juga org terdekatnya bilang, "di kehidupan ini bagian mana yg tidak politis?"

Mungkin saya paham rasanya menjadi Dimas. Sangat paham.

Bahkan ada lagi yg menyakitkan saya. Edi Riyadi Tere mengulas kembali gagasan Hannah Arent dalam buku "Manusia, Perempuan, dan Laki-Laki", bahwasanya menjadi manusia saja tidaklah cukup. Mereka harus politis agar menjadi manusiawi. (Hlm. viii)


Maka saya memikirkan hal ini. Ada satu hal yg saya rasa tak beres selama berkerja. Karena dgn berkerja seseorang harus mengikuti idealisme atasan. Namun bagaimana jika masalahnya idealisme ini tak sejalan?

Akhirnya saya diskusikan hal ini dgn sahabat saya. Dia bilang, sangat sulit menjadi netral di zaman ini. Karena nyatanya mengikuti idealisme sendiri adalah bentuk ketidaknetralan.

Saya paham dan sepakat pada akhirnya. Jadi harus bagaimana?

Saya masih belum menemukan jawabannya. Awalnya saya berpikir, menjadi jurnalis adalah salah satu jalan untuk bisa mengkritisi lewat tulisan. Tapi lagi2 berkerja adalah kewajiban mengikuti interest suatu perusahaan.

Melihat realitas yg ada, menjadi idealis memang terasa sulit.

Jawaban masih dicari. Semoga saya masih bisa mengawinkan idealisme dan passion saya di bidang menulis.

Mengutip pernyataan dari artikel seorang jurnalis di The Guardian, "being too ambitious is not wrong, that being headstrong doesn’t mean you’re rude to others and that rejections should not discourage you but motivate you to aim higher."

Menjadi ambisius itu tidak salah.

*Sekilas buku "Pulang": karya Leila Chudori yg menceritakan tentang seorang jurnalis di zaman Orde Lama. Buku ini akan diboyong ke Frankfurt Book Fair, perhelatan buku internasional bergengsi. Kali ini Indonesia menjadi tamu kehormatan karena dirasa memiliki toleransi beragama dan demokrasi yg baik. Fyi, gak semua negara bisa jadi tamu kehormatan. Thanks anyway Fini Rubianti atas infonya.

Comments

Popular Posts