Manusia, Binatang dan Akal Sehat

Pernikahan mut'ah; adalah pernikahan yang dilakukan dalam waktu terbatas, mulai dari hitungan jam hingga tahunan, dalam ketentuan yang telah ditentukan. Tidak ada perceraian karena waktu telah ditentukan. Dan anak, selama dia diakui oleh ayahnya, bisa mendapat warisan yang sama dari anak-anak dari pernikahan resmi. Ini diizikan dalam Syiah, namun tidak dalam Sunni. Faktanya, pernikahan kontrak ramai terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, di mana Indonesia punya masyarakat yang notabene adalah penganut Sunni.

Pernikahan urfi; awalnya pernikahan ini adalah pernikahan adat, namun justru menular pada remaja Mesir yang modern. Ini adalah pernikahan dimana para pasangan mengisi formulir yang berisi kesepakatan dan diresmikan oleh sebuah cap aneh, yakni darah mereka dan clap! Mereka resmi menikah. Ini biasanya dialami oleh para remaja yang merasa bahwa mereka harus berkomitmen, walau tak resmi dalam negara. Namun bagaimanapun, pernikahan ini tentu ditantang agama.

Pernikahan zawaj; pernikahan ini sama seperti pernikahan resmi --tercatat dalam negara, ketentuan warisan yang sama, serta syarat dan lain hal sebagainya. Namun satu yang beda, suami tak perlu menafkahi istri di kesehariannya, dan tak perlu tinggal bersama.

Aku teringat kata-kata Wilhan Reich, bahwa di Maroko, masayarakat dulunya berpikir liberal walau dalam praktiknya mereka tidak. Tapi sekarang, dalam praktiknya mereka liberal, namun pikirannya tidak seterbuka itu. Sebetulnya itu bisa digeneralisasikan pada masyarakat manapun. Kenyataannya, mereka berperilaku bebas (aku katakan seperti binatang), nyatanya dalam pemikiran tak pernah terbuka (masih labelisasi soal yang halal dan haram, namun tanpa empati kemanusiaan).

Aku paham, manusia pada dasarnya pemberontak. Aku katakan mereka seperti binatang bukan karena main seks di mana-mana, tapi karena mereka bermain memuaskan birahinya, dengan mengatasnamakan agama. Apa-apaan! Sekali lagi, ini bukan soal haram atau halal. Menggunakan agama untuk memfasilitasi birahi adalah bentuk pengkhiatan yang keji.

Bukankah pada akhirnya kita hidup dalam kemunafikan? Tak ada yang menuntut kita untuk berperilaku suci dan atau apapun itu sebagai bentuk idealisme. Kita hanya perlu jujur, bahwa kita manusia. Rusak. Menyedihkan. Tak perlu melakukan hal kotor atas nama Tuhan.

Satu teman mengatakan, bahwa yang salah bukan agama, tapi manusia itu sendiri. Individu. Satu teman lainnya mengatakan, kenapa Tuhan diam saja aturannya disalahgunakan jika Dia memang ada?

Bagiku dua pernyataan itu tidak penting. Aku mau manusia mengembalikan akal sehatnya. Tak perlu lagi ada rasionalisasi kotor. 

Karena akal sehat adalah satu-satunya pembeda manusia dari para binatang.



Comments

Popular Posts